Literasi Pekalongan: Quo Vadis?Refleksi Mendalam untuk Gerakan yang Tak Boleh Lagi Jalan di Tempat

Literasi Pekalongan: Quo Vadis?Refleksi Mendalam untuk Gerakan yang Tak Boleh Lagi Jalan di Tempat

Oleh: Yoga Rifai Hamzah. Ketua FTBM Kab Pekalongan

Dalam lima tahun terakhir, geliat literasi di Kabupaten Pekalongan seolah hidup segan mati tak mau. Di satu sisi, ada riuh rendah festival membaca, lomba menulis, pelatihan pustakawan desa; tapi di sisi lain, semua itu seperti berputar dalam lingkaran seremonial yang kehilangan ruh.

Mengapa? Karena sebagian besar lahir bukan dari denyut kebutuhan warga, melainkan dari kewajiban program pemerintah pusat. Lebih miris lagi, tak ada alokasi anggaran dari APBD yang secara khusus disiapkan untuk memperkuat ekosistem literasi lokal.

Namun, apakah literasi hanya soal anggaran? Tidak. Ia lebih dari sekadar soal uang; ia adalah cermin dari keberanian pemerintah daerah dalam memposisikan literasi sebagai jantung pembangunan manusia.

Sebagai seorang penggiat literasi yang sudah lama mencermati denyut kehidupan komunitas di Pekalongan, saya sering merasa seperti berdiri di depan cermin retak: potongan-potongan upaya yang tercecer, tak saling tersambung, masing-masing berjuang sendiri.

Taman baca kekurangan buku yang relevan. Relawan harus merogoh kantong pribadi demi mencetak modul belajar. Sekolah dan komunitas jarang duduk satu meja untuk menyusun rencana bersama.

Padahal, kita tahu, Pekalongan sedang berdiri di titik rawan.IPM yang Menampar Kesadaran KitaIndeks Pembangunan Manusia (IPM) Pekalongan berada di papan bawah Jawa Tengah.

Ini bukan sekadar angka dingin dalam tabel statistik, tapi penanda bahwa kualitas hidup masyarakat kita sedang dalam bahaya: pendidikan lemah, kesehatan rendah, daya beli terseok.

Dan salah satu akar masalahnya adalah: literasi yang tak kunjung dijadikan prioritas utama.Literasi bukan cuma soal membaca buku. Literasi hari ini adalah kemampuan memahami, memilah, mengolah, dan memanfaatkan informasi dalam kehidupan sehari-hari — mulai dari literasi digital, finansial, kesehatan, hingga lingkungan.

Tanpa itu, warga kita akan semakin terpinggirkan dalam pusaran perubahan zaman. Bagaimana mungkin mereka bisa mandiri dan berdaya jika tak pernah dilatih untuk berpikir kritis?

Mengapa Kita Terjebak Stagnasi?Kalau bicara akar masalah, jawabannya terang: sinergi yang lemah. Selama ini, pemerintah daerah berjalan sendiri, komunitas bergerak sendiri, sekolah punya program sendiri, dunia usaha sibuk dengan urusan sendiri.

Tidak ada ruang temu yang mempertemukan mereka dalam satu ekosistem yang hidup. Lebih ironis lagi, pendekatan pemerintah daerah masih top-down: dinas membuat program, masyarakat tinggal ikut.

Padahal, penggerak sejati literasi ada di tingkat komunitas — di taman baca, di pojok-pojok kampung, di para relawan yang mengenal denyut kebutuhan masyarakatnya. Suara mereka jarang sekali masuk ke meja perencanaan kebijakan. Mencari Jalan Keluar: Kolaborasi, Kreativitas, dan Keberanian.

Menunggu APBD turun bukan satu-satunya jalan. Justru, ketiadaan anggaran ini harusnya menjadi pemantik lahirnya solusi kreatif berbasis kolaborasi.

➡ Forum Literasi Daerah (FLD):

Kita butuh wadah yang mempertemukan pemerintah, komunitas, sekolah, kampus, dunia usaha, media, dan keluarga. Forum ini bisa memetakan kebutuhan literasi, menyusun agenda bersama, berbagi sumber daya, dan menggalang dukungan.

➡ Menggandeng Dunia Usaha dan CSR:

Perusahaan-perusahaan batik, perikanan, manufaktur di Pekalongan punya potensi besar melalui program CSR mereka. Mereka bisa diajak mendukung pembangunan perpustakaan, mendanai pelatihan literasi finansial, atau membuka akses internet untuk taman baca.

➡ Kolaborasi dengan Kampus dan Sekolah:

Mahasiswa KKN bisa jadi mentor digital atau relawan taman baca. Sekolah bisa bekerja sama dengan komunitas literasi setempat. Dengan begitu, program literasi tak hanya hidup di ruang kelas, tapi juga mengalir ke desa-desa.

➡ Inovasi Program Literasi yang Kontekstual:

Literasi harus dibuat relevan dengan kebutuhan warga. Literasi finansial untuk UMKM, literasi kesehatan untuk ibu-ibu PKK, literasi digital untuk pemuda, literasi lingkungan untuk kelompok tani.

➡ Gerakan Mandiri dan Aksi Nyata:

Mari kita mulai kampanye pengumpulan buku bekas, donasi gadget belajar daring, atau bahkan membuat platform digital sederhana untuk menghubungkan taman baca, sekolah, komunitas, dan donatur.

Jangan tunggu perintah; mulai dari bawah.Peran Pemerintah: Bukan Lagi Sekadar Simbolik, Pemerintah Kabupaten Pekalongan harus berani menjadikan literasi sebagai agenda strategis dalam dokumen perencanaan daerah.

Literasi harus punya target pencapaian yang jelas, didukung anggaran pendamping, dan memperkuat inisiatif-inisiatif warga. Dinas Perpustakaan jangan lagi hanya sibuk dengan acara rutin, tetapi berperan sebagai penghubung lintas pihak.

Bunda Literasi pun harus lebih dari sekadar simbol; ia harus menjadi jembatan yang membawa aspirasi komunitas ke meja kebijakan. Quo Vadis, Literasi Pekalongan?

Ke mana kau hendak melangkah, Literasi Pekalongan? Akankah terus terjebak dalam rutinitas yang stagnan? Atau berani mengambil langkah besar menjadi gerakan kolaboratif yang menghidupkan daya belajar masyarakatnya?

Saya percaya Pekalongan punya potensi besar. Kita hanya perlu keberanian untuk duduk bersama, menyatukan energi, dan menyalakan api perubahan. Literasi bukan sekadar urusan buku atau lomba.

Literasi adalah investasi masa depan, bekal untuk menghadapi ketidakpastian zaman. Kalau kita ingin anak-anak desa punya masa depan lebih baik, kalau kita ingin warga Pekalongan mampu berdiri sejajar dengan daerah lain, maka jawabannya jelas: kita harus memulai gerakan literasi yang menyatukan, bukan memisahkan.

Kita harus beranjak dari pertanyaan, menuju tindakan.Karena literasi bukan tanggung jawab satu pihak saja. Ia adalah tanggung jawab kita semua.

Drc

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *