Infokotaonline.com, Jakarta — Harga ayam broiler (live bird) mulai menunjukkan tren pemulihan sejak Mei hingga Juni 2025. Meski demikian, lemahnya daya beli masyarakat masih menjadi tantangan utama bagi sektor peternakan unggas di paruh kedua tahun ini.
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, menyebut kinerja emiten sektor poultry, seperti PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), diproyeksikan membaik pada semester II-2025. Perbaikan ini didorong oleh kenaikan harga ayam hidup dan DOC (day old chick), intervensi pemerintah, serta peningkatan belanja negara.
“Pemulihan bertahap harga ayam broiler dan DOC mulai terlihat sejak Mei hingga Juni, seiring langkah-langkah pemerintah seperti pemusnahan telur tetas dan penyerapan unggas melalui cadangan pangan,” ujar Ekky, Jumat (4/7).
Selain itu, perluasan program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga mendorong peningkatan permintaan unggas, khususnya dari kalangan pelajar. Pemerintah menargetkan jumlah penerima program ini mencapai 20 juta orang pada Agustus, dan meningkat hingga 82,9 juta orang pada akhir 2025.
Namun, tantangan utama masih membayangi, terutama daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Ekky menilai permintaan struktural belum terbentuk secara organik, dan pasar unggas masih dibayangi kelebihan pasokan.
Data dari BRI Danareksa Sekuritas mencatat harga rata-rata ayam broiler pada Juni 2025 mencapai Rp 17.800/kg, naik 6% dibanding bulan sebelumnya, namun turun 7% dibanding tahun lalu. Secara triwulanan, harga kuartal II tercatat Rp 16.800/kg, turun 15% dari kuartal sebelumnya dan 19% secara tahunan.
Analis BRI Danareksa, Wilastita Muthia Sofi, memperkirakan prospek laba emiten unggas akan meningkat di semester II. Faktor pendorongnya termasuk penurunan impor grandparent stock (GPS), stabilisasi harga jagung lokal, serta pelaksanaan program MBG yang lebih luas.
Ia memproyeksikan harga jagung lokal pada 2025 akan bertahan di kisaran Rp 5.600/kg, sedangkan harga bungkil kedelai (soybean meal) sebesar US$ 324/ton. Biaya pakan ini dinilai cukup menguntungkan di tengah tekanan ekonomi global.
Meski begitu, Wilastita menegaskan bahwa risiko sektor ini tetap tinggi, terutama akibat fluktuasi daya beli, potensi gangguan pasokan bahan baku, dan intervensi kebijakan pemerintah.
Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo, mengungkapkan bahwa meski JPFA dan CPIN saat ini terbantu oleh harga jagung yang relatif rendah, pertumbuhan pendapatan tetap terbatas. Tingginya curah hujan dan potensi peningkatan kuota impor bisa menekan pasar lebih jauh.
“Daya beli masyarakat yang normal kembali dan tidak adanya momen perayaan besar di kuartal II dan III membuat konsumsi unggas cenderung stagnan,” jelas Abdul.
Dari sisi pasar modal, Ekky menilai saat ini merupakan momen menarik untuk akumulasi saham JPFA dan CPIN. Ia merekomendasikan beli saham JPFA di kisaran Rp 1.440, dengan potensi naik ke Rp 1.650 hingga Rp 1.840. Untuk CPIN, target jangka pendeknya adalah Rp 5.000 dan jangka panjang Rp 5.600 jika tren positif berlanjut.
(csw)
