Infokotaonline.com
Jakarta – Gelombang kritik terhadap besaran gaji dan tunjangan anggota DPR RI periode 2024–2029 terus bermunculan. Setelah terungkap bahwa wakil rakyat bisa mengantongi take home pay hingga Rp100 juta per bulan, kalangan buruh menilai kondisi ini mencerminkan ketidakadilan sosial, terutama ketika tuntutan kenaikan upah pekerja justru sulit direalisasikan.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, menilai kenaikan tunjangan DPR hingga Rp50 juta sebagai kompensasi hilangnya fasilitas rumah jabatan memicu kekecewaan buruh. Menurutnya, buruh sejak lama meminta kenaikan upah 10 persen untuk tahun 2026, namun tak kunjung mendapat respons positif dari pemerintah.
“Kenaikan upah DPR begitu cepat disetujui, sementara buruh selalu menghadapi perdebatan panjang bahkan penolakan. Ini jelas bentuk ketidakadilan,” kata Mirah di Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Buruh Desak Dialog Kenaikan Upah
Mirah menekankan pentingnya dialog antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha untuk membicarakan besaran kenaikan upah 2026. Ia mengingatkan, kondisi di lapangan menunjukkan banyak pelaku usaha menghadapi kesulitan, mulai dari sepinya pembeli, pungli, keterbatasan modal, hingga dampak perang dan regulasi yang merugikan industri lokal.
“Permintaan kenaikan upah jangan ditanggapi negatif. Ini hal wajar karena harga-harga melambung tinggi dan buruh juga ingin hidup layak,” tegasnya.
Selain menuntut kenaikan upah, ASPIRASI mendesak pemerintah menjaga stabilitas harga pangan dan kebutuhan pokok. Menurut Mirah, tanpa pengendalian harga, kenaikan upah tidak akan berdampak signifikan bagi kesejahteraan buruh.
Kesenjangan yang Semakin Lebar
Kritik juga datang dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal. Ia menilai kenaikan tunjangan DPR di tengah menurunnya daya beli masyarakat sebagai bentuk nyata ketidakadilan.
“Rakyat dengan pendapatan rendah, sistem kerja outsourcing, mudah di-PHK, dan tanpa jaminan sosial, sementara DPR bekerja lima tahun saja dapat pensiun seumur hidup. Itu yang melukai hati rakyat,” ujarnya.
Iqbal mencontohkan, gaji bersih DPR yang setara Rp3 juta per hari sangat timpang dibandingkan dengan pekerja formal di Jakarta yang berpenghasilan UMR Rp5,2 juta per bulan atau sekitar Rp200 ribu per hari. Sementara pekerja sektor informal, seperti tenaga di dapur program Makan Bergizi Gratis (MBG) atau koperasi desa, hanya menerima sekitar Rp1,5 juta per bulan atau Rp50 ribu per hari.
Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, membenarkan bahwa anggota DPR bisa membawa pulang gaji bersih hingga Rp100 juta per bulan. Ia menjelaskan, tunjangan Rp50 juta diberikan sebagai pengganti fasilitas rumah jabatan.
“Take home pay Rp100 juta itu sudah termasuk gaji dan tunjangan rumah. Jadi kalau dihitung, sehari sekitar Rp3 juta. Saya bersyukur dengan itu,” kata Hasanuddin, seperti dikutip dari Forum Keadilan.
(csw)
