Infokotaonline.com
Jakarta – Janji Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menurunkan harga pangan justru berbalik arah. Alih-alih memberikan keringanan bagi rakyat, kebijakan tarif impor dan langkah tegas pemerintahannya terhadap imigrasi ikut mendorong lonjakan harga kebutuhan pokok di Negeri Paman Sam.
Mengutip laporan CNN, Minggu (21/9/2025), harga pangan di AS pada Agustus 2025 tercatat naik 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya. Angka tersebut menjadi laju kenaikan tercepat dalam tiga tahun terakhir.
Kenaikan harga dipicu kombinasi tiga faktor utama: kebijakan tarif Trump terhadap ratusan negara, pembatasan pekerja imigran yang selama ini menopang rantai pasok pangan, serta cuaca ekstrem yang menghambat produksi. Kondisi ini menjadikan bahan pangan sebagai isu paling sensitif di kalangan masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan menengah dan rendah.
Survei menunjukkan lebih dari 50% warga AS kini menempatkan biaya belanja harian sebagai tekanan utama dalam kehidupan mereka. Situasi ini memaksa sebagian keluarga mengubah pola konsumsi, memilih produk lebih murah, hingga berpindah ke ritel yang menawarkan potongan harga. Banyak jaringan toko bahkan kembali menghidupkan kupon belanja sebagai strategi menarik pelanggan.
“Harga pangan menjadi perhatian utama konsumen dan masyarakat di seluruh negeri. Topik ini mendominasi obrolan di meja makan,” ujar David Ortega, ekonom pangan dari Michigan State University. Ia menambahkan, isu harga pangan juga menjadi titik panas politik karena publik berharap pemimpin yang terpilih mampu memberikan solusi nyata.
Prediksi kenaikan harga ke depan juga mengkhawatirkan. Menurut analisis Laboratorium Anggaran Universitas Yale, jika tarif impor Trump tetap berlaku di level saat ini, harga pangan diperkirakan akan naik 3,4% dalam jangka pendek. Bahkan dalam jangka panjang, harga diproyeksikan tetap bertahan 2,5% lebih tinggi dari rata-rata normal.
Riset Yale juga mencatat, rata-rata tarif efektif di AS pada 2025 telah melonjak ke level tertinggi sejak 1935 akibat kebijakan perdagangan Trump. Kondisi ini memperparah daya beli masyarakat di tengah kebutuhan hidup yang semakin menekan.
Meski begitu, pihak Gedung Putih menepis anggapan bahwa lonjakan harga pangan merupakan bukti kegagalan kebijakan Trump. Juru bicara Kush Desai menegaskan, data satu bulan tidak bisa dijadikan tren. Ia mengklaim inflasi justru melambat di era Trump dibandingkan pada akhir masa pemerintahan Joe Biden.
“Trump telah mencapai kesepakatan perdagangan bersejarah dan investasi triliunan dolar yang menjadi fondasi pemulihan jangka panjang bagi kejayaan Amerika,” kata Desai.
(csw)
