Infokotaonline.com
Jakarta – Penolakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewo terhadap rencana pengampunan pajak atau Tax Amnesty mendapat dukungan mengejutkan dari kalangan buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Ketua Umum Partai Buruh, Said Iqbal, menyatakan sepakat dengan sikap Purbaya yang menolak program tersebut.
Menurut Said Iqbal, kebijakan Tax Amnesty yang pernah diberlakukan sebelumnya tidak adil, karena memberi kelonggaran kepada para pengemplang pajak, sementara kaum buruh tetap harus patuh membayar kewajiban pajaknya. Ia menegaskan, alih-alih menghidupkan kembali program tersebut, pemerintah seharusnya fokus pada reformasi sistem perpajakan yang lebih pro-rakyat.
“Reformasi pajak harus dilakukan. Kami minta batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan menjadi Rp7,5 juta per bulan. Kami juga menolak keras Tax Amnesty. Masa orang kaya yang tidak bayar pajak diampuni, sementara buruh tetap harus bayar pajak. Itu jelas tidak adil,” ujar Said Iqbal dalam konferensi pers persiapan aksi damai buruh yang akan digelar 30 September mendatang, Rabu (24/9/2025).
Said menilai, kenaikan PTKP dari saat ini Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta per bulan akan memberikan ruang bagi pekerja untuk menabung sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan begitu, konsumsi rumah tangga dapat terangkat, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kalau PTKP naik, buruh bisa menyisihkan uangnya. Kalau ada tabungan, bisa dibelanjakan. Purchasing power naik, konsumsi meningkat, ekonomi tumbuh, lapangan kerja terbuka, dan tidak ada PHK. Logikanya sederhana,” imbuhnya.
Selain itu, Said Iqbal juga meminta agar pemerintah menghapuskan pajak pesangon dan pajak Tunjangan Hari Raya (THR) yang selama ini memberatkan pekerja. Ia berharap Purbaya tidak mengikuti jejak menteri-menteri sebelumnya yang dinilainya terlalu berpihak pada kepentingan kapitalis.
Di sisi lain, Purbaya Yudhi Sadewo menegaskan alasannya menolak wacana Tax Amnesty jilid III. Menurutnya, jika program tersebut terus berulang, justru akan memicu perilaku tidak sehat di kalangan wajib pajak.
“Kalau Tax Amnesty digelar terus setiap beberapa tahun, orang akan cenderung menyelundupkan uang dengan harapan ada pengampunan berikutnya. Pesan yang ditangkap publik menjadi tidak baik,” kata Purbaya.
Sebagai catatan, Tax Amnesty jilid I dilaksanakan pada 2016 di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Program tersebut kembali digelar pada 2022 melalui Tax Amnesty jilid II. Namun, hingga kini, dampak keadilan fiskalnya masih menuai kontroversi, terutama dari kalangan pekerja dan akademisi.
(csw)
