Infokotaonline.com
Jakarta — Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Soeharto atau Titiek Soeharto menyoroti serius tingginya ketergantungan Indonesia pada impor kedelai. Dalam rapat kerja dengan Kementerian Pertanian (Kementan) di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (24/11/2025), ia menilai ironi bahwa bangsa Indonesia sebagai konsumen terbesar tahu dan tempe justru masih bergantung pada pasokan kedelai dari luar negeri.
Titiek membeberkan bahwa kebutuhan kedelai nasional mencapai sekitar 2,9 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri baru mampu menyediakan 300 ribu hingga 400 ribu ton. Kondisi tersebut memaksa Indonesia melakukan impor hingga 2,6 juta ton, jumlah yang disebutnya sangat besar dan memberatkan anggaran.
“Kita bangsa pemakan tahu tempe, mestinya kedelai jadi prioritas. Kebutuhan kita 2,9 juta ton, produksi cuma 300 sampai 400 ribu ton. Artinya, impor 2,6 juta ton. Kalau dirupiahkan, nilainya triliunan rupiah,” ujar Titiek dalam rapat tersebut.
Ia mengapresiasi capaian Kementan yang berhasil mempercepat target swasembada beras dan jagung dalam beberapa tahun terakhir. Namun, Titiek mengingatkan agar keberhasilan itu tidak membuat pemerintah abai terhadap komoditas lain yang sama krusialnya.
Menurutnya, kedelai tidak hanya menjadi bahan dasar makanan rakyat seperti tahu dan tempe, tetapi juga menjadi sumber protein penting bagi jutaan masyarakat Indonesia. Karena itu, ia menilai bahwa kedelai semestinya menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam kebijakan pangan nasional.
“Kami mengapresiasi capaian swasembada beras dan jagung, tapi ke depan swasembada kedelai harus menjadi konsentrasi bersama,” tegasnya.
Lebih lanjut, Titiek meminta Kementerian Pertanian menghidupkan kembali program peningkatan produksi kedelai yang sebelumnya menjadi bagian dari program nasional Padi, Jagung, dan Kedelai (Pajale). Program tersebut pernah berjalan untuk meningkatkan ketersediaan bahan pangan strategis, namun saat ini dinilai perlu direvitalisasi untuk menjawab tantangan ketergantungan impor.
“Dulu ada program Pajale, tolong dihidupkan kembali. Supaya kita tidak terus-menerus impor 2,6 juta ton. Malu, Pak. Kita makan tempe tahu, tapi kedelainya impor sebanyak itu,” pungkas Titiek.
Sorotan Titiek menjadi pengingat bahwa perbaikan sektor pangan tidak hanya berhenti pada komoditas beras dan jagung. Indonesia masih menghadapi pekerjaan rumah besar dalam memperkuat produksi kedelai agar tidak selalu bergantung pada pasar global yang rentan fluktuasi harga dan pasokan.
Kementerian Pertanian sendiri dalam kesempatan tersebut menyatakan kesiapan untuk mengevaluasi kembali program kedelai nasional dan meninjau langkah-langkah strategis dalam mendorong produksi dalam negeri.
(csw)
