Semarang – Aksi Kamisan digelar di depan Mapolda Jawa Tengah, Kamis (17/4/2025), oleh puluhan jurnalis dan aktivis sipil. Aksi ini menyoroti meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Mereka membawa pesan kuat: “Jurnalis bukan teroris, lawan represi!”
Koordinator aksi, Raditya Mahendra Yasa, mengecam keras kekerasan yang dialami fotografer Makna Zaezar dari Antara, yang dilakukan ajudan Kapolri. Menurutnya, insiden ini mencerminkan represi sistematis terhadap jurnalis.
“Itu bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga bentuk pembungkaman terhadap suara rakyat,” tegas Raditya.
Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan, menambahkan bahwa Jawa Tengah kini dalam kondisi darurat kebebasan pers. Ia menyebut kekerasan juga dialami oleh pers mahasiswa.
“Kawan-kawan pers kampus juga diintimidasi. Demokrasi mati jika kebebasan berbicara ditekan,” ujarnya.
Simbol demokrasi yang terkubur juga terlihat dari aksi teatrikal berupa makam bertuliskan RIP Demokrasi, lengkap dengan dupa dan bunga tabur.
Fajar Andhika dari LBH Semarang menegaskan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi. Ia memperingatkan, tindakan represif terhadap jurnalis menandakan bahaya otoritarianisme.
Mahasiswa dari LPM Justisia UIN Walisongo, Dimas, juga mengaku diintimidasi oleh orang berseragam TNI setelah menggelar diskusi soal militerisme di kampus. Tak hanya didatangi, salah satu anggota pers kampusnya bahkan diteror lewat pesan dan telepon.
Aksi ditutup dengan pembacaan lima tuntutan oleh Sekjen AJI Semarang, Iwan Arifianto, yaitu:
- Pecat aparat pelaku kekerasan terhadap jurnalis;
- Sediakan ruang aman bagi jurnalis;
- Taat terhadap UU Pers;
- Kapolri harus bertanggung jawab;
- Perusahaan media wajib lindungi jurnalis korban kekerasan.
(slater)
