Kritik terhadap Program Kopdes Merah Putih: Antara Otonomi Desa dan Konsolidasi Politik

Infokotaonline.com, Ekonomi, 27 April 2025 – Sejumlah cuitan dari Media Wahyudi Askar (@media_askar) memberikan kritik tajam terhadap program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih).

Berikut link konten instagram yang kami maksud :

https://www.instagram.com/p/DInHC_ZPcpg/?utm_source=ig_web_copy_link

Kritik ini menyoroti berbagai aspek, mulai dari pengurangan otonomi desa, intervensi pemerintah pusat yang berlebihan, hingga potensi penyalahgunaan program untuk tujuan politik.

Berikut analisis menyeluruh atas kritik tersebut, yang dihimpun dari berbagai cuitan yang diposting.

Ancaman terhadap Otonomi Desa:

Salah satu poin utama kritik adalah Kopdes Merah Putih justru menekan otonomi desa. Meskipun diklaim sebagai program pemberdayaan desa, kenyataannya enam sektor usaha Kopdes Merah Putih ditentukan oleh pemerintah pusat, seperti apotek, dan lainnya.

Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Desa yang menjamin otonomi daerah dalam mengelola sumber daya dan perekonomiannya. Dengan adanya penentuan sektor usaha dari pusat, desa kehilangan kemampuan untuk menentukan sendiri kegiatan ekonomi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal.

Pemilihan kepala desa yang dilakukan oleh rakyat, namun dikendalikan oleh presiden, menimbulkan pertanyaan atas sistem demokrasi yang sedang diterapkan. Situasi ini menggambarkan bagaimana otonomi desa tergerus akibat intervensi pemerintah pusat.

Kopdes Merah Putih sebagai Alat Kontrol Pusat:

Pola Kopdes Merah Putih dilihat sebagai alat kontrol pemerintah pusat terhadap ekonomi desa. Dana yang berasal dari pusat, namun utang ditanggung desa, membuat desa sangat bergantung pada pemerintah pusat. Akses ekonomi desa sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat.

Desa yang patuh akan menerima dana, sementara yang melawan hanya mendapat dana terbatas. Situasi ini menciptakan ketergantungan dan tekanan pada desa, yang menghambat perkembangan ekonomi lokal yang mandiri dan berkelanjutan.

Intervensi terhadap Bank Himbara:

Kritik tidak hanya tertuju pada program Kopdes Merah Putih saja, tetapi juga mencakup intervensi pemerintah terhadap Bank Himbara. Pemerintah memaksa bank untuk menyalurkan kredit kepada Kopdes Merah Putih tanpa due diligence yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan kredit macet dalam skala besar.

Hal ini berisiko menyebabkan bank pemerintah mengalami kerugian, bahkan kolaps, dan berujung pada krisis sistemik yang akan merugikan rakyat.

Kopdes Merah Putih Bukan Koperasi Sejati:

Penulis berpendapat bahwa Kopdes Merah Putih lebih tepat disebut Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), bukan koperasi. Hal ini didasarkan pada perbedaan prinsip dan regulasi yang mengatur keduanya.

Koperasi menekankan kepemilikan dan modal dari anggota, keuntungan untuk anggota, serta pengambilan keputusan secara demokratis. Sementara Kopdes Merah Putih, meskipun milik desa, modalnya berasal dari utang dan APBDes, yang lebih sesuai dengan karakteristik BUMDes.

Proyek Politik Berkedok Ekonomi Rakyat:

Kritik berlanjut dengan kecurigaan bahwa Kopdes Merah Putih adalah proyek politik berkedok ekonomi rakyat. Kata “koperasi” diturunkan dari kata “ko” (bersama) dan “operasi” (bekerja), menunjukkan inti dari koperasi yaitu gotong royong dari bawah.

Namun, Kopdes Merah Putih diterapkan dengan sistem top-down, tanpa unsur “bersama” yang sesungguhnya. Desa hanya bekerja, sementara keuntungan dan kendali program dipegang oleh pemerintah pusat.

Seruan untuk Kritik dan Diskusi Terbuka:

Penulis mengajak akademisi, mahasiswa, dan kepala desa untuk menyampaikan kritik secara langsung dan segera. Kritik yang disampaikan setelah kebijakan diterapkan dan uang rakyat terlanjur habis, menjadi tidak berguna.

Oleh karena itu, diskusi dan debat terbuka dengan Menteri dan kepala desa dianggap sangat penting untuk mencegah kerugian yang lebih besar.

Kegagalan dalam Mendukung Koperasi:

Penulis mencatat fakta bahwa banyak koperasi simpan pinjam bangkrut, bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena dipaksa bersaing dengan bank Himbara dalam situasi yang tidak seimbang.

Suku bunga yang jauh berbeda, kurangnya dukungan, dan regulasi yang mencekik menyebabkan koperasi sulit bertahan. Kegagalan koperasi ini merupakan cerminan kegagalan negara dalam melindungi dan memberdayakan koperasi serta membuka akses pasar yang adil.

Mengikuti Jejak Hatta:

Penulis membandingkan pendekatan pembangunan koperasi oleh Mohammad Hatta di Banda Neira tahun 1930-an yang berfokus pada gerakan rakyat, tanpa basis hutang, dengan pendekatan saat ini yang lebih top-down dan bergantung pada hutang. Pendekatan Hatta, yang berakar pada partisipasi rakyat dan modal dari usaha bersama, dinilai lebih berkelanjutan.

Kesimpulan:

Kritik terhadap Kopdes Merah Putih meluas dan menyoroti berbagai kelemahan program tersebut. Program ini tidak hanya mengancam otonomi desa, tetapi juga berpotensi menjadi alat kontrol pemerintah pusat, mengakibatkan persaingan tidak adil bagi koperasi, dan menimbulkan risiko krisis sistemik.

Penulis menyerukan perubahan pendekatan, dengan menekankan pentingnya pendidikan koperasi, akses modal berbasis keanggotaan, pembinaan dari bawah, dan penegakan prinsip koperasi sebagai gerakan rakyat.

Kritik ini menjadi pengingat penting akan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap program pemerintah yang berdampak luas pada masyarakat, dengan selalu mengutamakan keadilan, keberlanjutan, dan pemberdayaan rakyat.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *