Jakarta, 31 Mei 2025 – Pemerintah mengambil langkah strategis untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dengan merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.
Revisi ini bertujuan memperluas cakupan perlindungan sawah dan mengoptimalkan pengendalian terhadap konversi lahan produktif ke penggunaan non-pertanian.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan, mengungkapkan bahwa revisi Perpres ini akan memperluas wilayah perlindungan sawah dari delapan provinsi menjadi 20 provinsi, dengan tambahan luas lahan mencapai 2.751.651 hektare.
Dengan demikian, total lahan sawah yang dilindungi akan meningkat dari 3,83 juta hektare menjadi 6,58 juta hektare.
Langkah ini diambil menyusul kekhawatiran atas maraknya alih fungsi sawah menjadi perumahan dan area komersial di berbagai daerah sentra produksi pangan.
Foto udara menunjukkan penyusutan signifikan lahan sawah yang kini tergusur oleh pemukiman dan proyek properti.
Sejak diberlakukan pada 2019, Perpres 59 dinilai belum efektif mengendalikan laju konversi lahan. Masifnya perubahan fungsi lahan terjadi akibat lemahnya pengawasan, minimnya sanksi, serta terbatasnya cakupan peraturan tersebut.
Selain itu, kondisi pertanian nasional juga mengalami dinamika signifikan, mulai dari perubahan iklim, krisis pangan global, hingga pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian.
Dalam revisi ini, pemerintah menetapkan lima prioritas utama:
- Pengendalian alih fungsi lahan sawah yang lebih kuat, dengan regulasi dan mekanisme pengawasan yang diperkuat.
- Peningkatan produksi padi nasional, melalui perlindungan lahan pertanian yang lebih terstruktur.
- Pengamanan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) agar tidak mudah dikonversi menjadi area non-pertanian.
- Percepatan penetapan peta sawah terlindungi, yang selama ini menjadi celah dalam pelaksanaan Perpres.
- Peningkatan sanksi dan kewenangan pengawasan, khususnya di tingkat daerah dan tim pengendali.
Namun, tantangan tak berhenti pada konversi fungsi lahan. Alih kepemilikan lahan sawah juga menjadi ancaman serius.
Banyak petani terpaksa menjual lahannya karena tekanan ekonomi, keterbatasan tenaga kerja, dan sumber daya yang minim. Ketika lahan jatuh ke tangan pengembang atau pemilik non-petani, fungsi pertanian perlahan hilang meski status lahan belum berubah secara hukum.
Ketimpangan penguasaan lahan, minimnya regenerasi petani, hingga kebijakan perpajakan dan perizinan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah turut mempercepat alih kepemilikan lahan sawah.
Dalam beberapa kasus, kebijakan tata ruang justru memicu konversi secara legal namun bertentangan dengan semangat ketahanan pangan.
Revisi Perpres 59/2019 diharapkan tidak hanya menjadi perbaikan administratif, tetapi juga solusi menyeluruh untuk menyelamatkan sawah Indonesia dari ancaman jangka panjang. Keberhasilannya sangat bergantung pada dukungan kebijakan lain, mulai dari pembiayaan pertanian, insentif bagi petani, hingga perlindungan sosial yang memperkuat posisi petani di tengah tekanan ekonomi dan perubahan iklim.
Jika diterapkan secara konsisten, revisi ini dapat menjadi fondasi kuat bagi keberlanjutan pangan nasional dan masa depan pertanian Indonesia.
Sumber: Ketua Dewan Pakar DPD HKTI
Jawa Barat