Tapa Ngalong; Dekonstruksi Peradaban Ala Ki Ageng Bahureksa

Istilah tapa ngalong bagi masyarakat Pekalongan tak asing di telinga. Khususnya, para penutur cerita rakyat Ki Ageng Bahureksa. Bahkan meyakini, bahwa cerita ini punya kaitan dengan sejarah berdirinya Pekalongan. Tetapi, disadari atau tidak, cerita ini merupakan sumbangan berharga yang memperkaya kesusasteraan lisan Nusantara.

Juga, menjadi bagian dari kekayaan budaya.Kisah Ki Ageng Bahureksa tak hanya legenda atau kisah tentang asal-usul suatu daerah. Di dalamnya, terdapat jenis-jenis cerita rakyat lainnya, seperti sage dan mite.

Disebut sage, karena terdapat kaitan dengan peristiwa penting bagi masyarakat. Yaitu, penyerangan Sultan Agung ke Batavia. Kisah penyerangan Sultan Agung ke Batavia berperan penting bagi cerita rakyat Ki Ageng Bahureksa. Ia menjadi tulang punggung cerita. Kisah ini pula yang menentukan alur cerita dan karakter tokoh utama, Ki Ageng Bahureksa. Sementara, disebut mite, karena di dalam episode-episode yang terhampar pada kisah ini menunjukkan keterkaitan dengan sistem kepercayaan dan kekuatan-kekuatan adi daya (supranatural). Misal, ketika Ki Ageng Bahureksa dikisahkan bertemu dengan penguasa laut utara Jawa, Dewi Lanjar. Atau pula kisah-kisah yang menceritakan kesaktian Ki Ageng Bahureksa.Sebagai legenda, kisah Ki Ageng Bahureksa masih kuat melekat dalam ingatan masyarakat Pekalongan. Kisah ini terus diceritakan ulang dalam berbagai bentuk sajian. Khususnya, melalui pertunjukan wayang golek dalam tradisi Legenonan atau sedekah bumi. Tradisi ini masih dilanggengkan masyarakat pedesaan di Pekalongan. Lain dari itu, sebagaimana diakui sejumlah pegiat literasi sejarah Pekalongan, seperti Muhammad Dirhamsyah, Muhammad Edi Yuliantono (Edi van Keling), Muhammad Ifyani, Abdul Kharis, Anis Rosidi, Agus Sulistyo, dan lain-lain, cerita rakyat Ki Ageng Bahureksa beririsan dengan sejarah Mataram Islam era kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Namanya tercatat dalam berbagai dokumen resmi Belanda, juga naskah sastra Jawa klasik sebagai bagian dari pasukan Sultan Agung saat menyerbu Batavia. Dengan kata lain, tokoh Ki Ageng Bahureksa atau dalam catatan lain disebut Raden Tumenggung Bahureksa bukanlah tokoh fiktif. Kendati begitu, mereka menyebutkan, terdapat beberapa perbedaan antara catatan sejarah dengan cerita rakyat. Edi van Keling pada sebuah kesempatan dalam kegiatan Ngaji Sejarah yang rutin diselenggarakan Sogan Institute, sempat mengomentari perihal itu. Menurutnya, wajar dan sah-sah saja perbedaan itu terjadi. Sebab, pencatatan peristiwa bersejarah memungkinkan untuk tidak sampai menjangkau pada fragmen-fragmen kecil. Di lain hal, pencatanan sejarah mau tidak mau berkait erat dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam kesempatan yang sama, Agus Sulistyo berpendapat, perbedaan itu tak semestinya menjadi alasan untuk dibenturkan. Keduanya berperan penting bagi kehidupan masyarakat di masa kini dan masa depan. Sejarah memberi masyarakat pengetahuan tentang peristiwa masa lalu. Sementara cerita rakyat, berperan sebagai penyampai pesan dan kebijaksanaan luhur dari masa lampau yang boleh jadi tidak sempat terdokumentasikan lewat sejarah.Tak jauh beda dengan Muhammad Dirhamsyah yang berpandangan, bahwa cerita rakyat dapat dijadikan salah satu sumber informasi penting dalam mengulas sejarah. Akan tetapi, perlu kehati-hatian. Sebab, studi sejarah memiliki metode yang ketat. Begitu pula dengan kajian sastra lisan yang memiliki metode tersendiri. Secara tak langsung, pandangan-pandangan itu menandakan bahwa irisan antara sejarah dan cerita rakyat tentang Ki Ageng Bahureksa memiliki pola hubungan yang unik. Sekalipun, keduanya memiliki demarkasi yang berbeda, namun eksistensi keduanya dapat dipandang sebagai bentuk dialog yang mengajak masyarakat berpikir dan merenungkan masa lampau dan masa kini, di dalam menemukan formula bagi penciptaan masa depan. Keduanya sama-sama menyajikan sebuah imajinasi mengenai cita-cita bersama sebuah bangsa. Akan tetapi, untuk menemukannya diperlukan penggalian yang terus-menerus. Mempertimbangkan kaitan-kaitan antara masa lalu, masa kini, dan harapan yang hendak digapai di masa yang akan datang. Cerita Rakyat, Anak dari SejarahTidak dipungkiri, cerita rakyat kerap dikait-kaitkan dengan sejarah. Tujuannya, meyakinkan masyarakat, bahwa kisah-kisah yang diceritakan benar-benar terjadi. Pandangan ini, secara teoretis, benar. Akan tetapi, mesti diingat, kajian cerita rakyat tidak semata-mata untuk membandingkan fakta sejarah dengan fakta cerita dalam cerita rakyat. Lebih dari itu, kajian cerita rakyat bisa digunakan untuk mengurai makna-makna simbolik yang tersembunyi di balik kisah, hingga menembus pada cara pandang masyarakat atau pula ikatan batin yang terjalin antara masyarakat dengan kisah atau tokoh yang dikisahkan dalam cerita rakyat.Cerita rakyat Ki Ageng Bahureksa terlahir dari rahim sejarah. Wajar, apabila ketokohan Ki Ageng Bahureksa begitu kuat. Ditambah dengan kisah asal-usulnya yang merupakan putra Ki Angeng Cempaluk, tokoh penting di tlatah Kesesi. Intensitas ini pada akhirnya memberi kekuatan pada ikatan batin yang terjalin antara masyarakat dengan kisah masa lalunya. Sampai-sampai, masyarakat Pekalongan merasa memiliki ketokohan Ki Ageng Bahureksa.Kedekatan emosional ini membuat ketokohan Ki Ageng Bahureksa tampak menonjol dibandingkan tokoh Sultan Agung. Bahkan, intensitas ketokohan Ki Ageng Bahureksa dalam cerita rakyat telah memosisikan kisah penyerbuan pasukan Mataram ke Batavia yang mula-mula menjadi tulang punggung cerita, menjadi semata-mata latar cerita. Sehingga terbuka peluang bagi cerita rakyat tentang Ki Ageng Bahureksa ini dikembangkan ke dalam cerita-cerita lainnya yang dikaitkan dengan tokoh Ki Ageng Bahureksa.Laiknya seorang anak, pertumbuhan dan perkembangan cerita rakyat mungkin sekali akan melampaui induknya; sejarah. Di masa pertumbuhan, cerita rakyat dapat bergerak lincah ke segala arah. Di saat bersamaan, daya cerita rakyat menyerap dan menampung nilai-nilai budaya di masyarakat menjadi modal yang mendukung perkembangannya. Gambaran itu rupanya yang berlaku pada cerita rakyat Ki Ageng Bahureksa. Nama tokoh ini hadir dalam beberapa cerita rakyat lain tentang asal-usul sejumlah desa di kawasan Pekalongan, Batang, maupun Pemalang, baik sebagai tokoh sentral maupun sebagai tokoh sampingan atau pula sekadar disebut namanya.Fenomena ini mengindikasikan pengembangan fungsi tokoh Ki Ageng Bahureksa di dalam cerita rakyat sebagai tokoh paralel atau tokoh mitologi. Sebagai tokoh paralel, kehadiran Ki Ageng Bahureksa dalam beberapa cerita rakyat mewakili sifat-sifat atau menggambarkan nilai-nilai, atau pula peran yang serupa dengan tokoh lain dalam cerita atau budaya yang berbeda. Sedang sebagai tokoh mitologi, Ki Ageng Bahureksa acapkali dihadirkan sebagai tokoh yang memiliki daya linuwih atau kekuatan supranatural. Namun, tujuan penghadiran tokoh mitologi ini sesungguhnya tidak jauh beda dengan tokoh paralel. Yaitu, menggambarkan nilai-nilai tertentu yang secara implisit disampaikan melalui ketokohan Ki Ageng Bahureksa. Intensitas ini menunjukkan keberhasilan cerita rakyat di dalam melegitimasi ketokohan Ki Ageng Bahureksa. Lebih-lebih, tokoh Ki Ageng Bahureksa bukanlah sosok yang bergelar raja atau sultan. Sebagaimana diketahui, tanpa gelar raja, kemungkinan bagi nama Ki Ageng Bahureksa muncul dalam karya-karya sastra Jawa klasik sangat kecil. Tradisi kesusasteraan kala itu masih berpusat pada keraton atau istana, sehingga lebih banyak menceritakan kehidupan di dalam istana dengan para raja, pangeran, dan tokoh-tokoh di sekeliling raja. Sementara, tokoh-tokoh yang jauh di luar pagar istana hanya sesekali disorot. Jejak Ki Ageng Bahureksa dalam karya sastra Jawa klasik yang baru saya temukan hanya terdapat dalam Babad Tanah Jawi terbitan Balai Pustaka (1933) jilid 9. Itu pun hanya disebut sekali. Seperti pada kutipan berikut;miwah para mantri ing pasisir apan sampun ngutusan sadaya acawisa gêgamane bêdhil agêng wus mêtu sigra sampun putusan mulih wau Ki Bahurêksa akèn cawis sampun sadandanan ing ayuda Ki Dipati Mataram kabèh wus cawis miwah Dipati SampangPenyebutan yang hanya sekali menandakan bahwa Babad Tanah Jawi menempatkan Ki Ageng Bahureksa sebagai tokoh sampingan. Jauh berbeda dari cerita yang selalu dituturkan masyarakat Pekalongan. Saya tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika kisah ketokohan Ki Ageng Bahureksa hanya menggantungkan pada khazanah sastra Jawa klasik. Mungkin nama Ki Ageng Bahureksa sekadar melintas dan tidak pernah menjadi ingatan kolektif masyarakat. Memang, nama Ki Ageng Bahureksa bisa saja digantikan nama lain. Namun, sampai saat ini peristiwa lain—yang dihadirkan sejarah maupun cerita rakyat—belum cukup mampu menggantikan peristiwa Ki Ageng Bahureksa. Cerita-cerita rakyat tentang tokoh-tokoh laskar Diponegoro yang bertebaran di sejumlah desa di kawasan Pekalongan dan sekitarnya, misalnya, diakui cukup kuat melekat dalam ingatan masyarakat. Hanya, keberadaan kisah-kisah itu belum cukup mampu menggeser apalagi menggantikan popularitas kisah Ki Ageng Bahureksa.Betapa, kisah Ki Ageng Bahureksa kuat mengakar di sanubari masyarakat Pekalongan. Selain kemunculannya mendahului kisah para laskar Diponegoro yang melakukan eksodus ke Pekalongan pasca Perang Jawa (1825-1830), peristiwa yang dikisahkan agaknya lebih dramatik. Bahkan, dibumbui nuansa mistik khas Jawa seperti persinggungan tokoh Ki Ageng Bahureksa dengan penguasa laut Jawa, Dewi Lanjar.Sosok Dewi Lanjar diyakini sebagai penguasa laut Jawa dari kalangan makhluk halus. Diceritakan, perjumpaan Ki Ageng Bahureksa dengan Dewi Lanjar terjadi manakala Ki Ageng Bahureksa tengah menjalani tapa ngalong. Yaitu, bertapa di sebuah pohon besar dengan posisi tubuh menggelantung seperti seekor kalong (kelelawar). Laku tapa brata itu dilakukan selama 40 hari dan dimaksudkan sebagai upayanya untuk mendapatkan kekuatan dalam melancarkan aksi membuka Alas Gambiran. Konon, Alas Gambiran merupakan kawasan rimba yang lebat dan angker. Selain itu, hutan itu juga menjadi tempat paling diimpikan para perompak sebagai tempat persembunyian mereka. Sekarang, kawasan itu dikenal masyarakat Pekalongan dengan nama Gambaran. Di tempat itu berlangsunglah pertemuan antara Ki Ageng Bahureksa dengan Dewi Lanjar. Kedatangan Dewi Lanjar saat itu dalam maksud menggoda Ki Ageng Bahureksa dengan menawarkan beberapa hadiah. Salah satunya, ia rela menjadi istri Ki Ageng Bahureksa. Namun, ada syarat yang mesti dipenuhi Ki Ageng Bahureksa. Yaitu, ia harus menghentikan laku tapa ngalongnya dan menghentikan aksinya untuk membuka Alas Gambiran.Bujuk rayu Dewi Lanjar tak menggoyahkan tekad Ki Ageng Bahureksa. Membuka Alas Gambiran adalah titah Sultan Agung. Pantang bagi seorang ksatria meninggalkan tugas demi sesuatu yang tidak jelas. Sikap Ki Ageng Bahureksa membuat Dewi Lanjar naik pitam, hingga memicu duel di antara mereka. Ki Ageng Bahureksa memenangi duel itu dan memerintahkan Dewi Lanjar untuk tidak menggangu serta meminta agar ia memberi jaminan keamanan selama ia menjalankan titah sang sultan. Episode tapa ngalong kemudian dirujuk sebagai asal-usul toponimi Pekalongan. Dianggap sebagai tonggak sejarah berdirinya Pekalongan. Ini pula yang makin memperkuat posisi cerita Ki Ageng Bahureksa dibandingkan cerita-cerita rakyat lain yang hidup di masyarakat Pekalongan. Dengan kata lain, cerita tentang Ki Ageng Bahureksa menjadi milik masyarakat Pekalongan.Cerita Ki Ageng Bahureksa Memperkokoh Ingatan Kolektif Meskipun fiksi, cerita Ki Ageng Bahureksa punya andil bagi upaya memperkokoh ingatan masyarakat Pekalongan. Utamanya, berkenaan sejarah lokal. Tak bisa dibayangkan, bagaimana sejarah dapat dipertahankan dan diajarkan kepada generasi yang akan datang ketika tidak melahirkan cerita rakyat. Sebab, ada adagium yang menyatakan, history is writen by the victors. Pernyataan itu dikutip dari pandangan Winston Churchill.Apabila mengacu pandangan itu, ketokohan Ki Ageng Bahureksa bisa jadi tak pernah ada. Sebab, Ki Ageng Bahureksa bukan penguasa. Tentu pula ia berada di pihak yang kalah. Akan tetapi, melalui cerita rakyat, Ki Ageng Bahureksa tidak hanya menyejarah, melainkan pula hidup di dalam ingatan masyarakat Pekalongan.Cerita rakyat Ki Ageng Bahureksa tak sekadar mengajak kita mengingat masa lampau. Justru, ia mengajak masyarakat membayangkan masa depan. Penghadiran peristiwa lampau dalam cerita itu sesungguhnya merupakan sarana cerita untuk menyampaikan nilai-nilai tata kehidupan. Nilai-nilai itu mesti terus digali kedalaman maknanya. Agar, masyarakat tidak gagap di dalam membaca tatanan baru di setiap menghadapi arah perubahan zaman, serta mampu membuat rumusan formula tata nilai kehidupan yang mampu berjalan beriringan dengan gerak zaman. Jika itu dilakukan, bukan mustahil estafet kesejarahan dapat diciptakan dengan penuh kegemilangan. Sejarah masa depan tidak lagi lahir karena dipaksa keadaan. Betapa, cerita Ki Ageng Bahureksa telah memperluas spektrum dan memangjangkan daya jangkau sejarah. Cerita itu menempatkan sejarah pada posisi terhormat. Menjadikannya sebagai modal dasar bagi upaya menjaga kelangsungan hidup masyarakat Pekalongan. Cerita itu menjelma mimpi yang tersimpan rapi di alam bawah sadar masyarakat Pekalongan. Sebagaimana saat Ki Ageng Bahureksa menjalani laku spiritual; tapa ngalong.Belajar dari Tapa NgalongEpisode tapa ngalong merupakan bagian yang impresif. Selain dikaitkan asal mula toponimi Pekalongan, episode ini menampilkan sejumlah peristiwa dramatik. Dimulai penggambaran setting Alas Gambiran yang tak terjamah manusia, tempat hunian bangsa siluman, makhluk gaib, juga binatang-binatang buas, memberi kesan cekam pada cerita. Kecekaman itu makin dalam manakala Alas Gambiran digambarkan sebagai kawasan kerajaan gaib. Gambaran cekam itu diperkuat oleh pandangan pesimis atas keberhasilan Ki Ageng Bahureksa membabat Alas Gambiran. Secara implisit, hal itu terungkap melalui tindakan Ki Ageng Cempaluk saat sang putra menghadap untuk meminta restu. Mula-mula sang ayah terkejut atas perintah yang diterimanya. Menurutnya, memasuki Alas Gambiran sama artinya menyerahkan nyawa. Karenanya, ia bekali putranya ajian-ajian kesaktian yang dipersiapkan untuk menghadapi segala macam gangguan dari makhluk-makhluk gaib. Lain dari itu, kecemasan Ki Ageng Cempaluk atas keselamatan putranya ditunjukkan melalui keterlibatan sang ayah. Melalui kekuatan mata batin, ia memantau putranya dari jarak jauh. Kesan dramatik juga terungkap melalui intensitas konflik. Sebuah versi menyebut, titah Sultan Agung kepada Ki Ageng Bahureksa, merupakan bentuk kemarahan. Pemicunya, sang senopati dinilai lancang telah merebut hati perempuan yang didamba sang sultan. Saat Ki Ageng Bahureksa diutus untuk melamar gadis pujaan sang sultan, Dewi Rantamsari, rupanya perempuan itu justru menjatuhkan hatinya pada sang senopati. Untuk menutupi aib itu, Ki Ageng Bahureksa lantas menukar gadis itu dengan gadis lain, seorang anak penjual srabi asal Kalibeluk, Batang, Endang Wuranti. Parasnya yang mirip Dewi Rantamsari semula tak membuat Sultan Agung curiga. Akan tetapi, rahasia itu terbongkar. Sultan Agung murka. Lantas, memerintah Ki Ageng Bahureksa membuka Alas Gambiran sebagai hukuman. Barangkali, hukuman itu dimaksudkan untuk “membunuh” senopati yang dianggap “berkhianat” itu tanpa menggunakan tangannya sendiri.Versi lain menceritakan, bahwa hukuman itu disebabkan kegagalan senopati Mataram menjalankan misi menggempur Batavia. Dengan kata lain, sang sultan menilai kekalahan prajuritnya dalam pertempuran di Batavia akibat kelalaian sang senopati. Untuk menutupi rasa malu, diperintahlah sang senopati itu membabat Alas Gambiran. Tujuannya, untuk mengetahui sejauh mana kesetiaan sang senopati itu kepada sang sultan.Konflik makin intens ketika Ki Ageng Bahureksa memasuki hutan. Ia harus menghadapi penguasa Alas Gambiran yang merasa terganggu. Mula-mula ia mesti bertempur melawan pasukan siluman. Setelah mampu mengalahkan seluruh pasukan siluman, sang penguasa Alas Gambiran sendirilah yang menghadapinya.Tak cukup di situ, konflik menemukan kompleksitas ketika kabar mengenai kehadiran Ki Ageng Bahureksa sampai ke telinga penguasa laut utara Jawa, Dewi Lanjar. Merasa bagian wilayah kekuasaannya diganggu, ia lantas mengirimkan pasukan untuk membunuh Ki Ageng Bahureksa. Usaha itu gagal. Terpaksa, Dewi Lanjar turun tangan.Berbagai siasat dilancarkan Dewi Lanjar untuk menaklukkan musuhnya. Ia tahu betul kelemahan sang senopati. Tidak lain, perasaan cintanya kepada sang istri, Dewi Rantamsari. Maka, ia menjelmakan diri sebagai istri Ki Ageng Bahureksa. Saat mendekat, Dewi Lanjar—dalam rupa jelmaan itu—membujuk Ki Ageng Bahureksa agar menghentikan laku tapa ngalong. Halus ia bisikkan, kalau tugas sudah selesai. Buktinya, seluruh pasukan siluman dan pasukan kerajaan laut utara Jawa telah ia kalahkan, sehingga sia-sia saja ia melanjutkan tapa ngalong. Sebab, tak ada musuh yang patut dilawan.Nyaris Ki Ageng Bahureksa terbujuk. Keyakinannya hampir goyah. Tapa Ngalong yang ia lakukan hampir saja ia akhiri sebelum genap 40 hari. Namun, oleh wejangan sang ayah yang disampaikan melalui bisikan gaib, Ki Ageng Bahureksa lekas tersadar. Dengan gagah, ia melawan Dewi Lanjar yang menjelma sebagai istrinya itu.Merasa tak berhasil membujuk Ki Ageng Bahureksa, Dewi Lanjar malih rupa dalam wujud aslinya. Namun, ia masih terus saja merayu sang senopati. Menawarkan hadiah berupa kekuatan dan kekuasaan yang wilayahnya melebihi kekuasaan Sultan Agung. Dengan kekuasaan itu, ia bisa membalas tindakan Sultan Agung yang telah membuangnya ke Alas Gambiran. Hanya, ada syarat yang harus ia penuhi. Yaitu, menghentikan tapa ngalong dan bersedia menjadi suaminya.Bujuk rayu itu memaksa Ki Ageng Bahureksa berhadapan dengan konflik batin yang kompleks. Di satu sisi, persepsi Dewi Lanjar baginya ada benarnya. Di lain sisi, ia keberatan dengan syarat yang diajukan. Negosiasi tak mencapai mufakat. Kemarahan Dewi Lanjar memuncak. Sejak itu, keduanya berduel. Akan tetapi, kehebatan Ki Ageng Bahureksa tak mampu diimbangi Dewi Lanjar. Kalah berduel, Dewi Lanjar menyerah. Alih-alih memberi pengampunan, Ki Ageng Bahureksa memberi keleluasaan Dewi Lanjar untuk tetap berkuasa di pantai utara. Hanya, ia mesti berjanji untuk ikut menjaga keamanan di wilayah Alas Gambiran.Tapa Ngalong sebagai Dekonstruksi TatananPeristiwa-peristiwa dramatik yang hadir dalam episode tapa ngalong Ki Ageng Bahureksa memiliki peran penting. Terutama, sebagai motif yang memperkuat peristiwa tapa ngalong-nya Ki Ageng Bahureksa. Dengan begitu, diketahui bahwa tapa ngalong dilakukan sebagai upaya untuk menyerap energi yang bertebaran di kawasan Alas Gambiran. Selanjutnya, digunakan sebagai kekuatan tambahan dalam menaklukkan Alas Gambiran. Lalu, apa artinya semua itu?Tidak lain, peristiwa itu ingin mengatakan bahwa tapa ngalong dirancang sebagai strategi yang penuh kehati-hatian. Upaya penaklukan Alas Gambiran tidak dilakukan secara frontal. Akan tetapi, dijalankan secara rapi.Melalui tapa ngalong, mula-mula Ki Bahureksa berupaya membaca potensi medan energi yang tersembunyi di balik Alas Gambiran. Hal itu dilakukan dengan memindai medan energi yang tersebar di seluruh wilayah Alas Gambiran. Selain itu, juga dilakukan identifikasi konektivitas medan energi Alas Gambiran dengan kawasan sekitarnya. Serta, mengenali relasi kuasa yang terjalin di antara medan-medan energi yang terhubung dengan medan energi Alas Gambiran.Dengan ungkapan lain, tapa ngalong bisa diasumsikan sebagai pendekatan diplomasi yang holistik. Dalam hal ini Ki Ageng Bahureksa menyadari, bahwa proses babat Alas Gambiran tak cukup dilihat dari aspek fisik semata, melainkan melibatkan aspek-aspek lain. Termasuk menyatukan perspektif dan kehendak batin berbagai pihak, agar bersedia untuk bersama-sama membangun Alas Gambiran bagi masa depan. Cara itu diperkuat dengan upaya Ki Ageng Bahureksa meyakinkan semua pihak yang terlibat dalam peristiwa tapa ngalong agar bersedia membangun jembatan imajinasi di antara pihak-pihak tersebut. Merangkainya menjadi sebuah formula yang dapat dijalankan bagi upaya membangun Alas Gambiran.Dari itu, dapat dipahami bahwa tapa ngalong merupakan laku spiritual yang mendayakan seluruh kekuatan pikiran, batin, dan tentu saja kekuatan fisik. Tapa ngalong boleh jadi merupakan metafora untuk mengungkapkan maksud, bahwa di dalam upaya membangun tatanan baru diperlukan perubahan-perubahan besar. Dimulai dari upaya mengkritik dan mengoreksi kejumudan tradisi lama yang tidak menutup kemungkinan telah terjadi distori nilai akibat relasi kuasa yang terlalu kuat mencengkeram sampai ke akar-akar peradaban. Tradisi yang demikian mungkin saja telah menggeser posisi penting nilai sebagai pondasi dengan menampilkan kejumawaan kekuasaan sebagai satu-satunya penentu “kebenaran”.Tapa ngalong merupakan pembalikan logosentrisme atas legitimasi kekuasaan yang terlalu angkuh. Membuktikan, betapa kekuasaan yang demikian terlalu lemah. Sebab, cenderung meninggalkan dan menanggalkan nilai-nilai yang autentik. Hal itu dapat dilihat melalui penghadiran kekuasaan sebagai citra hororisme atau bahkan tercitrakan sebagai teror, sebagaimana yang tergambar melalui citra angker Alas Gambiran. Dengan begitu, tapa ngalong merupakan pembongkaran atas tatanan kekuasaan yang menyeramkan itu. Ia mempreteli segala perangkat yang digunakan kekuasaan di dalam melancarkan aksi terornya kepada masyarakat.Menariknya lagi, perubahan yang dilakukan Ki Ageng Bahureksa justru bukan dengan berlari. Akan tetapi, berhenti untuk beberapa waktu; tirakat. Dalam kondisi yang serba tidak nyaman, Ki Ageng Bahureksa—melalui tapa ngalong—justru tidak mengumbar nafsu, membiarkan diri dalam kesengsaraan jasmani dan rohani, juga memaksakan diri untuk terjaga sepanjang waktu. Lantas, memasrahkan segala persoalan kepada keyakinannya atas Sang Mahakehendak. Sesuatu yang agaknya sulit dilakukan para pemegang kekuasaan di masa kini yang lebih dipengaruhi oleh paradigma kebudayaan industri yang menuntut kecepatan dan dipenuhi ingar-bingar sosial.Jika demikian, tapa ngalong boleh dibilang merupakan sebuah pengetahuan yang ditujukan bagi masa kini di dalam merumuskan masa depan. Pertanyaannya, akankah tapa ngalong masih menjadi sumber inspirasi bagi upaya penciptaan tatanan yang dilakukan para pemegang kekuasaan, khususnya di Pekalongan? Kalau iya, langkah apa yang telah dilakukan oleh para pemegang kekuasaan dari masa ke masa? Saya kira, upaya untuk menggali makna tapa ngalong lebih dalam masih akan berumur panjang. Sebab, masih ada banyak nilai yang belum tergali. Tulisan ini hanya sedikit saja memberikan ulasan mengenai hal itu. Semoga masih akan ada lagi tulisan-tulisan lain.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *