Infokotaonline.com
Jakarta — Upaya menekan angka stunting dan kekurangan gizi di Indonesia mendapat dorongan baru. Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) resmi bekerja sama dengan organisasi nirlaba internasional TechnoServe untuk memperluas produksi beras fortifikasi, yakni beras yang diperkaya vitamin dan mineral melalui teknologi pascapanen.
Ketua Umum Perpadi, Sutarto Alimoeso, menyatakan kebijakan pemerintah kini semakin mengarah pada pemanfaatan beras fortifikasi untuk meningkatkan kualitas gizi nasional. Perpadi pun mengambil peran strategis sebagai produsen utama beras di Indonesia.
“Kita tahu persoalan gizi dan stunting masih menjadi tantangan, baik secara global maupun nasional. Maka, penggilingan padi punya kewajiban untuk membantu pemerintah menyelesaikan persoalan tersebut,” ujar Sutarto dalam Bimtek Fortifikasi Penggilingan Padi di Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Beras fortifikasi yang dikembangkan Perpadi bersama TechnoServe direncanakan masuk dalam program bantuan pangan, seperti Menu Beragam, Bergizi, dan Sehat (MBG). Program ini dianggap mampu memperkuat ketahanan pangan sekaligus menyediakan asupan gizi mikro bagi masyarakat berpendapatan rendah.
Menurut Sutarto, sebagian besar konsumsi pangan masyarakat Indonesia bersumber dari beras. Karena itu, menambah kandungan zat besi, zinc, asam folat, vitamin B1, serta vitamin B9 pada beras akan memberi dampak besar dalam menekan kekurangan gizi.
Sutarto menjelaskan proses produksi beras fortifikasi tidak serumit yang dibayangkan. “Teknologinya mirip pembuatan bihun. Beras ditepungkan, dicampur vitamin dan mineral, lalu dibentuk kembali menjadi butiran seperti beras biasa sebelum dicampurkan,” katanya.
Namun, jumlah anggota Perpadi yang sudah memproduksi beras fortifikasi masih terbatas. Karena itu, kolaborasi dengan TechnoServe dianggap penting untuk pendampingan teknis, pelatihan, hingga standardisasi produksi.
Manajer Program IGNITE Indonesia TechnoServe, Evelyn Djuwidja, mengatakan program Millers for Nutrition yang mereka jalankan berfokus pada tiga komoditas: tepung terigu, minyak goreng, dan beras.
“Dengan Perpadi, kami bekerja khusus pada pengembangan beras fortifikasi. Kami mengenalkan pemasok, mengundang ahli internasional, serta menyediakan pendampingan teknis dan uji laboratorium,” kata Evelyn.
Ia menjelaskan pembuatan kernel fortifikasi hanya memerlukan sekitar 1 persen dari total beras, sehingga biaya produksi relatif efisien. Sejumlah produsen kernel di Malang dan Sumbang bahkan telah beroperasi dan memasok kebutuhan industri.
Namun, harga beras fortifikasi saat ini masih 20–30 persen lebih mahal dari beras premium. Rendahnya permintaan menjadi salah satu penyebab harga belum kompetitif.
Evelyn menyebut Badan Gizi Nasional sudah menjalankan pilot project distribusi beras fortifikasi melalui program bantuan pangan di Bogor, Jawa Barat. Pemerintah pun mulai menunjukkan ketertarikan menjadi pembeli maupun distributor resmi.
Menurut standar Badan Pangan Nasional, beras fortifikasi dapat berasal dari beras medium maupun premium, tergantung target pasar. Di banyak negara, beras medium menjadi pilihan utama karena harga lebih terjangkau.
“Beras adalah kendaraan yang efektif untuk meningkatkan asupan gizi mikro masyarakat,” tegas Evelyn.
Di sisi lain, Perpadi mendorong agar beras fortifikasi dikategorikan sebagai beras khusus yang tidak dibatasi Harga Eceran Tertinggi (HET). Dengan demikian, akses masyarakat dari semua kelas pendapatan dapat terbuka lebih luas.
Sutarto menegaskan kerja sama dengan TechnoServe merupakan bentuk komitmen Perpadi dalam mendukung program pemerintah, termasuk dalam pencapaian target SDGs di bidang kesehatan dan gizi.
(csw)
