Perayaan Ulang Tahun Ke 19 Museum Batik & Pameran Karya Maestro Tapi Berasa Sepi Makna
Kota Pekalongan, 25 Juli 2025 – Museum Batik Kota Pekalongan merayakan hari jadinya yang ke-19 dengan menyelenggarakan pameran spesial Mbabar Mustiko dengan tema Titi Larasing Rasa. Pameran yang diresmikan oleh Wakil Wali Kota Pekalongan, Hj Balgis Diab didampingi Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga (Dinparbudpora) setempat, Sabaryo Pramono, Kepala Museum Batik, Nurhayati Sinaga dan jajaran lain, Kamis malam (24/7/2025). Pameran ini menjadi bagian dari rangkaian acara peringatan ulang tahun museum yang berdiri sebagai salah satu penjaga warisan budaya batik Indonesia.
Wawalkot Balgis mengungkapkan rasa syukur atas perjalanan panjang Museum Batik yang kini telah mencapai usia 19 tahun. Ia menilai pameran kali ini istimewa karena menampilkan karya-karya dari para maestro batik dari berbagai penjuru Indonesia, terutama wilayah Pulau Jawa.
“Alhamdulillah, di usia Museum Batik yang ke-19 ini bisa menampilkan karya-karya terbaik dari para maestro batik dari seluruh Indonesia, khususnya dari wilayah Pulau Jawa. Pameran kali ini berbeda karena mengangkat tema Titi Larasing Rasa yang menyatukan lintas generasi dan lintas daerah,” tuturnya.
Dirinya mengajak masyarakat Kota Pekalongan dan seluruh Indonesia untuk tidak melewatkan pameran yang cantik ini. Menurutnya, pameran ini menjadi ruang apresiasi sekaligus ruang kontemplasi untuk lebih memahami filosofi batik sebagai cerminan kearifan lokal yang sarat makna.
“Harapannya, melalui pameran ini, kita tidak hanya memberikan apresiasi, tetapi juga mengundang masyarakat untuk memahami dan meresapi batik sebagai cermin kebijaksanaan lokal. Di tengah arus digitalisasi, kita ingin batik tetap hidup, relevan, dan lestari hingga generasi emas mendatang,” tandasnya.
Rangkaian kegiatan ulang tahun museum mencakup berbagai pameran batik dari 16 kolektor yang berasal dari Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Cirebon, dan Yogyakarta dan beragam lomba untuk pelajar.
Warga Kota Pekalongan Mengkritik Gelaran Ini Terlalu Datar dan Sederhana!
Sementara itu K. Wongso seorang seniman batik Pekalongan, memberikan tanggapannya pada pameran batik bertajuk “Mbabar Mustiko” dengan tema Titi Larasing Rasa, yang digelar untuk memperingati ulang tahun Museum Batik Pekalongan ke-19.
“Semestinya ini menjadi momentum penting untuk menggugah rasa cinta masyarakat terhadap warisan budaya batik. Sayangnya, pameran yang seharusnya menjadi pesta visual dan naratif ini justru terasa hambar, kehilangan kekuatan penyampaian yang utuh karena minimnya unsur kuratorial yang fundamental.” Ujarnya.
Ia menambahkan kekecewaannya atas kesan datar dari kegiatan tersebut, “Satu kekecewaan paling mendasar adalah absennya tulisan penghantar pameran. Padahal, sebuah teks kuratorial atau penjelasan konseptual sangat diperlukan untuk menjembatani pengunjung dalam memahami konteks, makna, dan benang merah dari karya-karya batik yang dipamerkan. Tanpa narasi pembuka, karya-karya tersebut tampak berdiri sendiri, seolah-olah hanya dipajang tanpa niat untuk bercerita.”
Ia menambahkan, “Sekelas Museum Batik Pekalongan sebagai titik poros pengarsipan batik nasional selayaknya, menggandeng kurator nasional sekelas Sujud Dartanto ( Kurator Galeri Nasional ) atau Mike Susanto ( Kurator Istana Negara ) jika pun tidak kuratorial bisa di serahkan pada Kurator lokal yang membersamai riset dan pemahaman karya karya yang di pamerkan.”
Menurutnya, Tidak adanya tulisan kuratorial atau pengantar pameran yang mampu menjelaskan konteks tema “Mbabar Mustiko”. Padahal, tema ini mengandung potensi naratif yang luar biasa—tentang membuka kembali nilai-nilai luhur batik sebagai “mustiko” (permata, intisari budaya). Tanpa tulisan pengantar, pengunjung dipaksa menafsirkan sendiri setiap karya, tanpa arahan atau pijakan yang memperkaya pengalaman visual dan intelektual mereka.
Hal yang dirasa janggal menurut Wongso, ketiadaan katalog pameran pun menjadi hal yang cukup disayangkan. “Katalog bukan sekadar suvenir cetak; ia adalah dokumen penting yang merekam gagasan, data seniman, deskripsi karya, serta menjadi jejak sejarah dari penyelenggaraan pameran itu sendiri. Tanpa katalog, pameran ini seperti berlangsung dalam sekali napas: hadir, namun lekas dilupakan.”
Terlebih, Karya berjudul ” Holy Grain” karya Bayu Aria dari Hotwax studio Jogja luput dari penulisan panjang , karya ini adalah karya yang sama yang di berikan ke Paus Fransiskus di Vatikan, karya yang dibuat hanya 2 buah , dengan konsep perjalanan spiritual global, jika di telaah dari sudut pandang konsep pasti akan lebih menarik.
Lebih jauh tentang kekurangan dan kelemahan penyelenggaraan perayaan HUT Museum Batik Pekalongan Ke-19
* Karya berjudul ” Kasuranggan ” buah tangan sabar seorang Sapuan atau Guru Sapuan, karya dengan detailing super khas studio batik Sapuan, tersaji dengan super menarik, tapi lagi lagi konsep dari penelitan motif dari artefak candi Singosaren yang di kolaborasi untuk pengarsipan kain masa sebelum Majapahit luput juga dari keterangan pameran kali ini. Dari ke 16 seniman batik kali ini semua karya memiliki keunggulan teknis nyaris sempurna, dengan kematangan konsep karya yang berkaca pada konsep klasik atau konsep terbarukan, yang kesemua itu bisa terjabarkan dan terangkum baik jika ada kuratorial resmi untuk pameran ini.
* Display karya yang berasa sesak karena satu karya dengan karya yang lain serasa berdesakan tidak memberi ruang pada mata untuk mentransformasi imajinasi ke otak lalu menjadi pengalaman visual sempurna, ini juga jadi pekerjaan rumah pihak Museum Batik untuk lebih membuka diri, dan mengamati banyak hal yang jadi aspek teknis sebuah pameran kain. Mengingat karya yang di pajang adalah karya kelas international yang beberapa karya seniman ini dikoleksi di beberapa Museum kain di luar negeri.
* Puncaknya, acara pembukaan pameran terasa tawar, nyaris tanpa greget. Tidak ada elemen dramaturgi, tak ada sajian pementasan yang membuka mata tentang perjalanan batik, sambutan yang menyentuh atau memperdalam makna pameran hanya datang dengan terukur dari Wakil Walikota Balgis Diab, harapan tentang terjaganya batik sebagai warisan budaya tak benda dari UNESCO.
* Titik berat yang paling disayangkan menurut wongso adalah tidak adanya ruang dialog antara pengunjung, seniman, dan kurator. Padahal, momen pembukaan adalah ruang awal untuk membangun ketertarikan publik dan menyampaikan visi pameran secara langsung.
* Sebagai lembaga yang telah berdiri selama hampir dua dekade dan menjadi pusat edukasi batik nasional, Museum Batik Pekalongan semestinya dapat lebih matang dalam merancang sebuah pameran tematik. Apresiasi terhadap batik bukan hanya soal memajang kain di ruang putih, tetapi tentang bagaimana menyampaikan narasi, konteks budaya, serta tantangan kekinian yang dihadapi oleh para pembatik dan pelestari tradisi.
* Pameran Mbabar Mustiko mungkin menyimpan banyak nilai dan potensi, namun semua itu belum tersampaikan dengan baik kepada publik. Museum Batik Pekalongan diharapkan dapat mengevaluasi pendekatannya dan menghadirkan pameran yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga kuat secara naratif dan pengalaman pengunjung.
Menurut Wongso kritik yang Ia sampaikan ini atas dasar kecintaan pada Batik dan rasa sayang pada keberadaan Museum Batik Pekalongan yang kami anggap sebagai poros penjaga terakhir keberadaan batik tulis Pekalongan, yang tertranformasi oleh industri digital yang tak terhentikan.
Ia menutup tanggapannya dengan jargon, “Salam Cinta Batik !!! Batik Tulis !!!”
Drc
Jurnalis juga seorang Konsultan Pertanian.
