Infokota Online, Jakarta, 31 Maret 2025 -RUU Penyiaran terbaru memiliki beberapa pasal yang menuai kontroversi. Salah satunya adalah pasal 51 huruf e yang mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan.
Hal ini tidak selaras dengan UU Pers yang memberikan kebebasan lebih luas kepada pers. ( https://umsida.ac.id/3-pasal-ruu-penyiaran-yang-ambigu-selain-50b/ ).
Selain itu, RUU Penyiaran juga dianggap memiliki beberapa pasal yang ambigu, seperti pasal tentang siaran eksklusif. Pasal ini dianggap dapat membatasi kebebasan pers dan menguntungkan hanya beberapa pihak saja.
Kritik lainnya datang dari Sekretaris prodi Ilmu Komunikasi Umsida yang mengatakan bahwa peran KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dalam RUU ini perlu diperjelas kembali.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa KPI dapat menjalankan fungsinya dengan efektif dan tidak bertentangan dengan UU Pers.
Dalam rilis resmi website Umsida, pada 6 Juni 2024 seorang dosen mengkritisi tentang kebebasan pers yang hendak diganggu oleh Pemerintah.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menggarap revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.
RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret 2024 tersebut memunculkan berbagai respon masyarakat terutama tentang pengancaman kebebasan pers.
Draft RUU tersebut berisi 14 Bab dengan jumlah total 149 pasal. Salah satu pasal yang kontroversial termuat dalam pasal 50B yang melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigasi.
Begini menurut pakar jurnalistik
Namun, ada beberapa pasal lainnya yang juga masih ambigu. Dosen jurnalistik prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Ikom Umsida), Istiqomah Poernomo MMedKom, turut menanggapi pasal-pasal dalam RUU penyiaran selain tentang larangan penayangan siaran investigasi.
Sekretaris prodi Ilmu Komunikasi Umsida ini mengatakan, βSebenarnya peran KPI dalam UU ini perlu diperjelas kembali. Apakah KPI di sini memegang peran di penyiarannya saja? Terkait sengketa jurnalistik yang harus merambah ke ranah pengadilan, menurut saya malah kita yang diperkosa media,β.
“Harusnya, sengketa atau permasalahan yang berhubungan dengan jurnalistik cukup berada di dewan pers saja. Sama dengan kode etik kedokteran yang mengurusi ranah kedokteran saja, bukan lainnya.” sambung Isti.
” Di jurnalistik sendiri sudah terdapat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), maka dua lembaga tersebutlah yang bisa mengatasi sengketa jurnalistik sesuai dengan kode etik masing-masing.β tandasnya.
“Memang KPI memiliki irisan di bidang ini. Kalau irisan ini malah membuat blunder, maka lebih baik dipisah saja. Permasalahan pers bukan hanya pada pemberitaan, misal jika ada wartawan yang meninggal, ya hubungannya dengan aparat yang tetap didampingi dewan pers,β tutur dosen lulusan S2 Ilmu Komunikasi Unair ini.
Setahun lalu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan bahwa RUU Penyiaran seharusnya sudah disahkan saat masa sidang paripurna DPR April 2024.
“Karena ada kendala, jadi belum bisa disahkan dalam paripurna,” katanya seperti yang dikutip dari RRI.Hal itu memicu gelombang protes dari kalangan pers dan jurnalis.
RUU tersebut masih memuat pasal-pasal yang melarang produk jurnalisme dan tumpang tindih dengan UU Pers.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa kebebasan pers adalah hak asasi warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Aturan sudah cukup jelas dan tegas
Berikut adalah beberapa point yang menjelaskan bahwa jurnalis tidak dibatasi pada media apapun sebagai sarana publikasinya dan hak siar penuh tanpa pemberedelan:
1. Kebebasan Pers :
Pasal 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa pers nasional memiliki kebebasan untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
2. Hak Mencari dan Menyebarkan Informasi :
Pasal 5 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi melalui media massa.
3. Kemerdekaan Pers :
Pasal 6 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa pers nasional memiliki kemerdekaan untuk melakukan kegiatan jurnalistik tanpa campur tangan pihak lain.
4. Hak Siar : Pasal 7 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 menegaskan bahwa pers nasional memiliki hak siar yang tidak dapat dibatasi oleh pihak lain.
5. Tidak Ada Pemberedelan :
Pasal 8 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa tidak ada pemberedelan terhadap pers nasional, kecuali dalam hal-hal yang diatur oleh undang-undang.
Seluruh saluran media publikasi berhak digunakan Pers
Dalam hal saluran media yang dipakai, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tidak membatasi jenis media yang dapat digunakan.
Berikut adalah beberapa contoh saluran media yang dapat digunakan:
- Teks: Media cetak seperti koran, majalah, dan buku, serta media online seperti artikel, blog, dan media sosial.
- Audio: Media radio, podcast, dan audio online lainnya.
- Visual: Media foto, video, dan grafis lainnya.
- Audio Visual: Media televisi, film, dan video online lainnya.
Pers tidak dapat dibatasi dalam teknis berkarya
Dengan demikian, jurnalis memiliki kebebasan untuk memilih media apa pun sebagai sarana publikasinya, serta memiliki hak siar penuh tanpa pemberedelan, kecuali dalam hal-hal yang diatur oleh undang-undang.
Media tersebut dapat berupa media fisik seperti koran, majalah, dan buku, atau media elektronik seperti media online, radio, dan televisi.
Drc

Jurnalis juga seorang Konsultan Pertanian.